Sabtu, 23 April 2016

Hati Kotor Gara-gara Harta



وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ. الَّذِى جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ.

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (humazah lumazah). Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung (QS. Al-Humazah [104] : 1-2).

 
Ayat di atas mengingatkan semua muslim bahwa obsesi memperbanyak harta akan menyebabkan hati kotor. Hati yang kotor akan membawa seseorang pada karakter humazah dan lumazah. Dua kata tersebut maknanya sama; menghina dan merendahkan. Bedanya, humazah  menghina dengan perkataan, sedang lumazah menghina dengan sikap. Atau, humazah menghina di hadapan, sedang lumazah menghina di belakang alias mengumpat. Intinya, humazah lumazah merujuk pada orang yang senang menghina, melaknat dan merendahkan orang lain, baik itu dengan perkataan atau perbuatan, baik itu di hadapan atau di belakang (Tafsir ibn Katsir)
            Maka jika ada seorang ustadz berani merendahkan dan menyepelekan ustadz lainnya, berarti ustadz tersebut telah menjadi humazah-lumazah. Hatinya kotor karena tidak ada ruang di kalbunya untuk ber-husnu zhan. Ia juga pasti sudah terobsesi dengan harta. Ingin hartanya banyak dan tidak pernah berkurang. Ingin agar jama’ah pengajian selalu mengutamakannya dan tidak mengistimewakan ustadz yang direndahkannya tersebut.
            Demikian halnya dengan seorang pejabat, pedagang, guru, dosen, bahkan buruh dan karyawan sekalipun. Semua sikap humazah dan lumazah yang lahir dari diri tanpa kontrol adalah sebuah pertanda yang jelas betapa hati sudah sangat kotor oleh obsesi harta. Bohong belaka jika kerenggangan yang terjadi tersebut diklaim karena beda idealisme atau bahkan ideologi, sebab faktanya agama mereka sama; islam. Apalagi jika misi mereka sama juga; sama-sama satu ormas, satu sekolah, satu pesantren, satu kampus, atau satu perusahaan. Semua kerenggangan yang terjadi pasti disebabkan keengganan untuk berbagi, ketidakmauan melihat orang lain lebih maju, dan ketidakberanian untuk menerima takdir. Kotoran-kotoran hati tersebut berasal dari obsesi harta.
            Maka dari itu tepat sekali jika al-Qur’an memberi tuntunan kepada manusia untuk rutin memberikan zakat dan shadaqah. Sebab hanya amal itulah yang bisa menghilangkan obsesi terhadap harta yang akan mengotori jiwa. Allah SWT misalnya menyatakan: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (harta) dan mensucikan (jiwa) mereka (QS. at-Taubah [9] : 103). Atau seperti disinggung dalam ayat lain: “Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari meraka itu. Yaitu yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (jiwa)-nya. Bukan karena ada seseorang yang memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Mahatinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan." (Qs. Al-Lail [92] : 17-21).

Selasa, 19 April 2016

Makna Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah

Memiliki keluarga sakinah mawaddah wa Rahmah (Samara) adalah dambaan setiap orang. Sering kita dengar orang mengucapkan selamat kepada pengantin , agar keluarganya sakinah, mawaddah, wa rahmah. Tapi tahukah mereka, apa keluarga samara itu? Bagaimana ciri-cirinya? Dan bagaimana untuk meraihnya?


Kata samara berasal dari firman Allah,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ (الروم : 21)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah ia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu SAKINAH kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa MAWADDAH dan RAHMAH. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
(QS Ar-Rum : 21)

Sakinah berasal dari kata SAKANA artinya tentram tenang.
            Salah satu tujuan menikah adalah supaya manusia merasa tenang dan tentram karena laki-laki dan perempuan mempunyai kelemahan dan kekurangan. Suami membutuhkan istri. Istri membutuhkan sentuhan suami. Sedangkan kesempurnaan kesenangan didapat bila suami-istri saling melengkapi. Bagi kaum muda atau usia menikah hidupnya akan sepi jika tidak ada pendamping.

Ciri-ciri Keluarga Sakinah
  1. Suami akan selalu merindukan istrinya, sehingga tidak betah berada di luar rumah setelah beraktifitas mencari nafkah, atau beribadah;
  2. Istri akan selalu menunggu kedatangan suami setelah beraktifitas;
  3.  Menjadikan rumah sebagai tempat berkumpul, tempat kembali, tempat istirahat yang menyenangkan;
  4. Suami akan bangga bila memberi nafkah kepada istrinya, sebab itu ia akan selalu giat bekerja;
  5. Istri akan senang menerima nafkah dari suaminya dan bersyukur kepadanya, sebab itu ia tidak akan berbuat TABDZIR (boros);
  6. Suami-istri akan hidup tentram di rumah; BAYTI JANNATIY (Rumah adalah surgaku);



MAWADDAH berasal dari kata WUDDUN / WIDDA artinya cinta kasih, mempunyai keinginan yang kuat, merasakan kepuasan. AL WADUD adalah salah satu al Asmaul Husna
       Allah menciptakan manusia berpasangan agar satu sama lain saling menikmati hidup, menyalurkan kebutuhan biologis. Dengan adanya pernikahan secara islam, hak suami istri akan terjaga, terhormat, tidak melepaskan syahwatnya kepada siapa saja. Setelah akad nikah Islam membolehkan satu sama lain bergaul dengan bebas.

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS al-Baqarah : 223)


Sabda Rasulullah saw, “Nikahilah perempuan besar cintanya dan akan banyak anaknya, karena aku ingin menjadi yang banyak umatnya karena kamu,” (HR Abu Dawud dan An-Nasai)

Ciri-ciri Keluarga Mawaddah
  1. Suami akan mencintai istrinya sebagai pasangan hidup ketika suka maupun duka. Demikian juga istrinya;
  2. Suami akan merasakan bahwa hanya istrinya yang nikmat dan halal digauli;
  3.  Istripun menikmati hal yang sama dan tidak akan berpaling dari suaminya dan selalu menjaga kehormatan dirinya;
  4. Suami istri akan menikmati hidup berumah tangga;
  5. Suami tempat curhat istri demikian juga istri tempat curhat suaminya;
  6. Suami akan senang bila istrinya meminta; dan istri akan senang bila disuruh suaminya;
  7. Selalu bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya.


RAHMAH atau RAHMAT artinya kasih saying. Saling memberi dan menerima. Jika Mawaddah lebih cenderung kepada suami istri, maka Rahmah lebih cenderung saling mengasihi dan menyayangi antara anggota keluarga, terutama kepada anak. Dibedakan cinta kepada istri dan cinta kepada anak. Bukan hanya manusia yang diberi Rahmat oleh Allah untuk menyayangi anaknya. Namun diantara manusia ada yang tega menyiksa bahkan membuang dan membunuh anaknya.

Sabda Rasulullah saw, “Tidak termasuk umat kami orang yang tidak menyayangi yang kecil dan yang tidak mengetahui hak yang besar.” (HR At-Tirmidziy)

RAHMAT yang sesungguhnya adalah surga yang khusus bagi orang-orang yang berTAQWA.

Dari Abdullah bin Amr ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Orang-orang yang suka mengasihi akan dikasihi Allah. Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya Dzat yang ada di langit (Allah) akan menyayangimu.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidziy)

Ciri-ciri Keluarga Rahmah
  1. Suami istri saling menyayangi; tidak akan saling menzhalimi, menghina, menjelekkan dan saling menyalahkan;
  2. Orang tua selalu memperhatikan kebutuhan anak-anaknya;
  3. Anak-anak selalu hormat dan taat kepada orang tuanya;
  4. Setiap anggota keluarga berlaku sopan santun, sapa dan senyum;
  5. Ayah bertanggung jawab atas keselamatan anggota keluarganya dunia akhirat, sebab itu wajib mengajarkan islam kepadanya, mendidiknya, membimbingnya dan mengajaknya beribadah;
  6. Setiap anggota keluarga mengerti akan hak dan kewajiban masing-masing.


Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Masing-masing kamu adalah pemimpin (penanggungjawab); Imam adalah pemimpin, ia akan harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya; Suami adalah pemimpin di rumah tangganya, ia akan ditanya tentang kepemimpinannya; Istri adalah pemimpin di rumah suaminya ia akan ditanya tentang kepemimpinanya; Pelayan adalah pemimpin dalam menjaga harta majikannya, ia akan ditanya tentang kepemimpinannya; (Kata Ibnu Umar saya kira Rasulullah saw bersabda), anak adalah pemimpin dalam menjaga harta ayahnya.” (HR al-Bukhary).

Keluarga Barokah
            Sebenarnya Rasulullah saw saat mendo’akan orang yang baru menikah tidak mengucapkan semoga keluarganya samara. Melainkan agar diberkahi atau selalu mendapat berkah (barokah). Barokah adalah tetapnya kebaikan (pahala) dari Allah; apa pun yang terjadi menimpa harus menjadi pahala. Ramadlan disebut bulan yang penuh barokah, artinya banyak pahala.

(أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَّأَ إِنْسَانًا إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ : بَارَكَ اللهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ). رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَالأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَابْنُ خُزيْمَةَ، وَابْنُ حِبَّانَ

Bahwa Nabi saw apabila mengucapkan selamat kepada orang yang telah meikah (pengantin) beliau mengucapkan “BARAKALLAHU LAKA... (Semoga Allah memberi berkah kepadamu dan melanggengkan berkah-Nya kepadamu, menyatukan kamu berdua dalam kebaikan).” (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaymah dan Ibnu Hibban)
            LAKA dan ‘ALAYKA diartikan saat suka dan duka akan tetap mendapat BAROKAH; Saat mendapat ni’mat, bersyukur adalah pahala; ketika ditimpa musibah, bersabar adalah pahala.

Dari Shuhaib r.a ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Sungguh mengagumkan, urusan orang yang beriman; Sesungguhnya segala urusannya berakibat baik, hal itu tidak dimiliki siapapun selain orang yang beriman; Jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur, hal itu adalah baik baginya. Jika menimpanya kesusahan, ia bersabar, hal itu adalah baik baginya.” (HR Ahmad, Muslim, ad-Darimi dan Ibnu Hibban)

Oleh H.M. Rahmat Najieb, S.Pd

Jangan Salah Mengambil Teman

gambar: koleksi pribadi

يَاوَيْلَتَى، لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيْلًا

“Wah celaka besar aku, Seandainya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku” (QS. Al-Furqan [25] : 28)
Manusia diciptakan Allah sebagai makhluq yang tidak dapat hidup sendiri, dia membutuhkan makhluk lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, untuk mengambil keputusan, ia akan selalu memerlukan teman; teman hidup, teman berbicara, teman berfikir, teman bersiyasah, teman berjuang, dan teman dalam kasab. Pada dasarnya kita bebas memilih teman-teman itu, apapun tingkat sosialnya; miskin, kaya, pejabat, rakyat. Namun kita tidak bisa bebas memilih teman dari tingkah laku, kebiasaan dan akhlaqnya. Islam melarang umatnya untuk bergaul dengan orang-orang kafir, musyrik, zhalim, orang-orang jahat, yahudi, kristen dan syetan. Teman pergaulan itu akan mempengaruhi corak kehidupan kita, bahkan sedikit banyak akan mengikuti kebiasaan-kebiasaannya.
            Rasulullah saw memberi perumpamaan, “Perumpamaan teman yang shalih dengan teman yang jahat seumpama penjual minyak minyak kasturi dan peniup kir (pandai besi); Bila engkau bergaul dengan penjual minyak wangi nantinya engkau akan diberi, atau tertarik untuk membeli darinya, atau sekurang-kurangnya engkau akan mencium bau yang harum. Dan bila engkau bergaul dengan tukang pandai besi mungkin bajumu akan terbakar atau engkau akan mencium asap yang jelek.” (HR. Bukhary)
            Persahabatan itu akan mencuri tabi’at, Al-Mushohabatu tasriqu th-thobiy’ah. Apabila kita ingin mengetahui tabi’at atau kebiasaan seseorang jangan ditanya nasabnya tetapi lihatlah qarin-nya (temannya); dengan siapa dia hidup, apa kebiasaan temannya. Contoh yang paling berpengaruh adalah bahasa, sebab ia harus berkomunikasi dengan temannya. Tidak mungkin ia akan bisa tahan hidup di tempat yang tidak dimengerti bahasanya. Apabila ingin mensholehkan akhlak kita, maka harus bergaul dengan orang-orang sholeh. Perhatikan pula anak-anak kita, dengan siapa mereka berteman.
            Allah menggambarkan nasib orang yang memusuhi ulama dan menjauhi orang-orang yang shaleh kelak di akhirat, “Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zhalim menggigit dua tangannya seraya berkata : Aduhai kiranya dulu aku mengammbil jalan bersama-sama Rasul. “Wah celaka besar aku, Seandainya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku” (QS Al-Furqan : 27-28). Ia menjadikan orang kafir, dan syetan sebagai khalilnya.
            Pada (QS 4 : 69). Allah menggambarkan keni’matan hidup berteman dengan orang-orang yang baik, “Dan siapa yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan sama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah. Yaitu : para nabi, shidiyqiyn, para syuhada serta orang-orang yang sholeh. Dan mereka itulah teman sebaik-baiknya.”

Senin, 18 April 2016

Keutamaan Mengurus & Mendidik Anak

Diakhirat kelak, anak akan jadi pengangkat derajat orangtuanya di surga, serta jadi perisai bagi orngtuanyadari neraka. Rasulullah saw bersabda,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الجَنَّةِ فَيَقَوْلُ يَا رَبِّ أَنَّى لِي هَذِهِ فَيَقُوْلُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mengangkat derajat seorang hamba yang shaleh di surga. Lalu hamba tersebut bertanya, Ya Rabb, dari manakah aku memperoleh semua ini? Allah menjawab, ini berkat istighfar anakmu untukmu” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الخُدْرٍيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ يَمُوْتُ لَهَا ثَلَاثَةٌ مِنْ الوَلَدِ اِلَّا كَانُوْا لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ أَوْ اثْنَانِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ اثْنَانِ

Dari Abu Sa’id Al-Khudry ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada seorangpun dari kalian yang kematian tiga orang anaknya, melainkan anak-anaknya itu akan jadi perisai baginya dari neraka. Kemudian seorang wanita dari mereka bertanya, kalau dua orang anak bagaimana? Rasulullah saw menjawab, sekalipun hanya dua orang anak” (HR Muslim dan Ahmad)

Kaum Jahiliyyah, merasa hina, jika istri-istri mereka melahirkan anak perempuan. Anak perempuan dianggap sebagai pembawa beban nafkah yang berat bagi keluarganya, hanya memdatangkan kesulitan dan permasalahan di kemudian hari.

Pada masa Fir’aun, anak perempuan dibiarkan hidup, karena mereka akan dijadikan sebagai komoditas, pemenuh syahwat kaum Adam.

Risalah yang dibawa oleh Muhammad saw, mengajak umat manusia untuk memuliakan hak wanita, diantaranya dengan memberikan keutamaan bagi setiap orang yang mau bersabar dalam mengurus dan mendidik anak-anaknya terutama anak perempuan


Dari Uqbah bin Amir ra, dari Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang mempunyai tiga orang anak perempuan, lalu ia bersikap sabar terhadap mereka, niscaya mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka” (HR Ahmad dan At-Thabrany)

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang mempunyai tiga orang anak perempuan, lalu ia melindunginya, menyayanginya dan mengurusnya, maka ia pasti masuk surga”. Lalu ditanyakan kepada beliau, bagaimana kalau dua orang? Beliau menjawab, “meskipun dua orang”. Ia berkata, sebagian orang mengira, kalaulah mereka mengatakan bagaimana jika seorang pasti beliaupun akan menjawab meskipun hanya seorang. (HR Ahmad)

Dari Siti Aisyah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu dari urusan anak-anak perempuan ini, lalu ia tetap memperlakukan mereka dengan baik, maka kelak mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka” (HR Mutafaq ‘alaih)

oleh: Ahmad Solihin, S. Thi
Penulis: Mikail